
Kasus Dari Dokter PPDS Unpad Adalah Tindak Kriminal Luar Biasa Dunia kesehatan Indonesia kembali diguncang oleh kasus yang menggemparkan dan mencoreng integritas profesi kedokteran.
Seorang mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Jurusan Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad), Priguna Anugerah Pratama (31), telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan kekerasan seksual terhadap keluarga pasien berinisial FH (21) di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung, Jawa Barat.
Peristiwa memilukan ini tidak hanya mengguncang institusi medis tempat pelaku menempuh pendidikan, tetapi juga menimbulkan keresahan di masyarakat luas, khususnya di kalangan pasien dan keluarga yang mempercayakan keselamatan jiwa mereka kepada tenaga medis.
Dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang seharusnya menjunjung tinggi etika kedokteran menjadi perhatian nasional dan menimbulkan desakan akan tindakan tegas dari institusi terkait.
Anggota Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Maman Imanulhaq, turut menyuarakan kemarahannya atas kasus ini.
Kasus Dari Dokter PPDS: Kasus Pemerkosaan
Dalam keterangan tertulis yang diterima pada Kamis, 10 April 2025, ia menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Priguna merupakan tindakan kriminal berat yang harus dijatuhi sanksi setimpal, termasuk pencabutan gelar dan larangan praktik seumur hidup sebagai tenaga medis.
“Ini bukan hanya pelanggaran etika atau norma kedokteran semata, melainkan tindakan kriminal yang keji dan tidak dapat dimaafkan. Seorang pelaku kekerasan seksual, terlebih dalam konteks relasi kuasa antara dokter dan keluarga pasien, tidak layak kembali berpraktik di dunia kedokteran. Gelar profesinya harus dicabut, dan ia tidak boleh lagi memiliki akses terhadap profesi ini dalam bentuk apa pun,” tegas Maman.
Ia juga menambahkan bahwa tindakan Priguna tidak hanya berdampak terhadap korban dan keluarganya, tetapi juga merusak citra dan kepercayaan publik terhadap profesi dokter secara umum. Menurut Maman, tindakan tegas dari lembaga pendidikan kedokteran dan organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sangat diperlukan guna memulihkan kepercayaan masyarakat.
“Kejadian ini bisa berdampak sistemik terhadap kepercayaan pasien. Bila tidak ditindak dengan adil dan transparan, masyarakat bisa kehilangan keyakinan terhadap rumah sakit dan dokter yang menangani mereka. Ini bukan sekadar aib personal, ini juga kegagalan sistem perlindungan pasien jika tidak diselesaikan dengan tuntas,” tambahnya.
Maman menekankan bahwa kekerasan seksual dalam bentuk apa pun merupakan kejahatan serius yang harus diberi hukuman sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Terlebih lagi, jika pelaku memiliki kedudukan atau kuasa yang digunakan untuk melakukan pelecehan, maka sanksinya harus diperberat.
Sebagai informasi, Kepolisian Daerah Jawa Barat telah menetapkan Priguna Anugerah Pratama sebagai tersangka berdasarkan laporan dan bukti yang cukup.
Tindak Kriminal Luar Biasa
Ia dijerat dengan Pasal 6C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), yang mengatur pidana terhadap pelaku kekerasan seksual fisik dengan ancaman hukuman penjara paling lama 12 tahun serta/atau denda maksimal Rp300 juta.
Pasal tersebut menyebutkan bahwa kekerasan seksual fisik yang dilakukan oleh seseorang yang menyalahgunakan kedudukan atau jabatannya, termasuk tenaga kesehatan, dapat diperberat karena pelaku memanfaatkan relasi kuasa dan kepercayaan yang diberikan oleh korban atau keluarganya.
Dalam hal ini, status Priguna sebagai peserta program pendidikan kedokteran spesialis di rumah sakit pendidikan membuatnya memiliki tanggung jawab profesional yang jauh lebih besar.
Kasus ini juga menjadi sorotan tajam terhadap sistem pengawasan di rumah sakit pendidikan dan institusi akademik. Banyak pihak mempertanyakan bagaimana seseorang yang sedang dalam masa pendidikan dan berada di bawah pengawasan dapat melakukan tindakan seberani dan seburuk itu tanpa terdeteksi sejak awal.
Organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pun didesak untuk bertindak cepat dan tegas dalam merespons kasus ini. Selain memastikan bahwa pelaku tidak lagi memiliki akses terhadap profesi medis, IDI juga diminta untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengawasan etika profesi di lingkungan praktik pendidikan dokter.
Selain itu, peristiwa ini turut memunculkan diskursus publik mengenai perlindungan hukum dan psikologis terhadap korban kekerasan seksual di fasilitas layanan kesehatan. Banyak pihak mengusulkan penguatan sistem pelaporan dan pendampingan korban, serta pembentukan unit-unit perlindungan khusus di rumah sakit dan kampus kedokteran guna mencegah kejadian serupa di masa mendatang.
Lembaga pendidikan tinggi, dalam hal ini Universitas Padjadjaran, diharapkan dapat memberikan klarifikasi dan mengambil langkah tegas terhadap status akademik pelaku. Transparansi dalam proses internal akan memberikan sinyal bahwa institusi tidak akan memberikan toleransi sekecil apa pun terhadap tindakan pelecehan seksual di lingkungan pendidikan, terutama di bidang yang menyangkut keselamatan dan kehormatan manusia.
Baca Juga : Seseorang Pria Bunuh Tetangga Sendiri Karena Selingkuhi Istrinya
Masyarakat juga diimbau untuk terus mengawal kasus ini agar penegakan hukum dapat berjalan sesuai prinsip keadilan. Kasus Priguna menjadi pengingat bahwa kekerasan seksual dapat terjadi di lingkungan mana pun, bahkan pada institusi yang seharusnya menjadi simbol profesionalisme dan kemanusiaan.
“Persoalan ini bukan hanya persoalan satu individu. Ini mencerminkan pentingnya pembenahan sistem, penguatan etika, serta perlindungan menyeluruh bagi semua pihak yang berinteraksi dalam sistem layanan kesehatan. Tindakan cepat, tegas, dan transparan adalah jalan satu-satunya untuk memulihkan kepercayaan publik dan menjamin keselamatan pasien di masa depan,” tutup Maman.